Kebijakan Perpajakan yang Ramah Gender

Representasi gender dalam kebijakan tercermin dalam aturan perpajakan. Salah satunya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Dalam aturan tersebut lima kali menyebutkan kata “perempuan” dan tidak ada kata “pria” maupun laki-laki. Namun, aturan tersebut menyebut kata “suami” sebanyak tiga kali.

Kajian terkait gender memang menarik untuk didikusikan. Konstruksi sosial membentuk aspek maskulinitas dan feminitas menjadi pertimbangan dalam membuat kebijakan. Perbedaan tersebut menuntut kesetaraan dan dapat menimbulkan perbedaan. Adil dan setara artinya hak masing-masing terpenuhi tanpa ada kekauan dalam memainkan peran, sehingga setiap insan dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Misalnya, peran dalam politik, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, pembangunan, pertahanan dan keamanan, dll. Naomi Wolf berpendapat bahwa perempuan memiliki peran penting dalam mengubah lingkungan sosial. Kini perempuan telah memiliki kekuatan dari banyak bidang seperti pendidikan, politik, dan sosial budaya.

Menilik awal mula gender menyita perhatian publik, yaitu saat Konferensi Dunia Perempuan ke-4 pada September 1995 di Beijing. Sekitar 17 partisipan dan 30.000 aktivis menghadiri acara tersebut. Saat itulah wacana terkait perempuan mulai menjadi perbincangan masyarakat dunia.

Tahun 2000, Indonesia mulai menggaungkan wacana gender. Bermula dari penetapan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Saat itu, Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid ingin meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, perlu menyusun strategi pengarusutamaan gender dalam seluruh proses pembangunan nasional. Karena hal tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah.

Instruksi ini ditanggapi oleh berbagai instansi pemerintah. Salah satunya Kementerian Keuangan yang menyoroti empat aspek kesenjangan dalam isu gender, yaitu akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat. Dikutip dari situs Kementerian Keuangan, akses merupakan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan dalam memperolah manfaat pembangunan. Kemudian partisipasi adalah keikutsertaan laki-laki dan perempuan dalam suatu kegiatan/program. Dijelaskan pula terkait kontrol, yaitu peran laki-laki dan perempuan dalam menjalankan fungsi pengendalian atas sumber daya dan pengambilan keputusan. Dan manfaat ialah peran laki-laki dan perempuan dalam menerima dan menggunakan hasil-hasil suatu kebijakan/program/kegiatan.

Salah satu contoh penerapan gender dalam kebijakan terlihat dalam peraturan perpajakan. Aturan tersebut disusun agar masyarakat mudah dan jelas dalam memahami serta memenuhi hak dan kewajiban perpajakan.

Aturan Perpajakan 

Berfokus pada aspek manfaat yang digaungkan oleh Kementerian Keuangan, hal ini tercermin dalam tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Dalam aturan tersebut, terdapat enam ayat yang mengatur tentang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perempuan kawin. Pertama, perlakuan NPWP terhadap perempuan kawin yang dikenai pajak secara terpisah. Kedua, perempuan kawin yang tidak hidup terpisah dan tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis.

Ketiga, perempuan kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami. Keempat, wanita kawin yang sebelumnya telah memiliki NPWP. Dan kelima, ketentuan peraturan terkait NPWP perempuan  kawin selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Aturan tersebut berada dalam Pasal 2 terkait NPWP yang terdiri dari enam ayat yang mana lima ayat membahas terkait perempuan dan tiga ayat menyebut kata “suami”. Aturan tersebut menyiratkan bahwa keluarga merupakan satu kesatuan ekonomis yang pemenuhan kewajibannya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, aturan tersebut juga memberi ruang bagi perempuan kawin yang menginginkan kewajiban perpajakannya terpisah dengan suaminya.

Berbicara tentang gender tidak hanya tentang kecantikan, pendidikan, kekuasaan. Dalam penetapan kebijakan gender juga menjadi salah satu kajian yang menarik. Peraturan-peraturan mulai diubah dan disesuaikan dengan wacana gender.

Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan sebagai salah satu instansi pemerintah turut berperan serta dalam menggaungkan wacana gender.  Dalam aturan tersebut terpampang nyata bahwa perempuan kawin diperlakukan istimewa. Ia diberikan hak untuk memilih untuk gabung dengan suami atau berdiri sendiri. Pilihan ini memberi ruang bagi perempuan untuk lebih fleksibel dalam mengambil keputusan yang dapat mempermudah aktivitasnya.

Perempuan kawin seolah diistimewakan karena dianggap memiliki tugas dan tanggung jawab lebih banyak. Misalnya hamil, menyusui, dan melahirkan. Untuk itu, aturan-aturan seperti ini dianggap lebih meringankan beban mereka. Penggabungan data bersama suami membuat peluang suami untuk melaporkan kewajiban perpajakannya dan istri tinggal mengikuti saja. 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

*) Artikel di atas ditulis untuk dan telah terbit Maret 2021 di www.neraca.co.id.

Komentar

Postingan Populer