Covid-19 Bertahan, Insentif Pajak Dilanjutkan
Pemerintah menetapkan aturan terkait kelanjutan insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kebijakan tersebut merupakan langkah tepat pemerintah dalam menekan dampak pandemi Covid-19. Fasilitas pajak penghasilan dapat menjaga daya beli masyarakat dan menguatkan arus kas perusahaan. Selain itu, berbagai insentif pajak diharapkan dapat menarik investor ke Indonesia.
Perpanjangan insentif tersebut tepat karena berdasarkan data World Health Organization (WHO) sampai 5 Februari 2021, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 104 juta jiwa dan membunuh lebih dari 2,2 juta jiwa secara global. Di Indonesia, orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 lebih dari 1,1 juta jiwa dan 31 ribu jiwa terkonfirmasi meninggal dunia.
Selain itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menekan penyebaran virus ini. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diterapkan sejak awal pandemi sampai sekarang. Menyebabkan orang kehilangan pekerjaan, kegiatan ekonomi melambat, dan pengusaha gulung tikar.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuktikan informasi tersebut dengan melakukan survei pada Mei 2020. Lembaga penelitian ini merilis hasil survei dampak pandemi Covid-19 pada pekerja. Survei dilakukan terhadap 1.112 pekerja di seluruh Indonesia. Data survei menunjukkan 2% pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan pesangon, 15% pekerja mengalami PHK tanpa pesangon, dan 65% pekerja dapat bekerja dari rumah. Pekerjaan yang paling terdampak adalah sektor perdagangan, rumah makan, akomodasi, dan sektor jasa.
Kemudian Agustus 2020, Badan Pusat Statistik mengeluarkan Laporan Perekonomian Indonesia yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi -3,0%. International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara berkembang akan berada pada masa yang cukup sulit, terkontraksi sekitar 1,0%.
Data di atas menunjukkan bahwa tahun 2020 menjadi tahun penuh tantangan karena harus berjibaku di antara pembangunan ekonomi dan penanganan Covid-19, bukan rahasia lagi bahwa pembatasan karena Covid-19 telah mempengaruhi sektor ekonomi dalam angka yang masif. Pemerintah telah berusaha menekan dampak dengan mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal. Salah satunya adalah kebijakan insentif pajak.
Hampir setahun kebijakan insentif pajak diterapkan. Insentif pajak merupakan salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama tahun 2020 dan dilanjutkan tahun 2021 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.03/2021 tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Aturan insentif pajak pertama kali ditetapkan 27 April 2020 melalui PMK No. 44/PMK.03/2020 tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019. Kemudian 16 Juli 2020, aturan ini dicabut dan diganti dengan PMK No. 86/PMK.03/2020. Pemerintah terus mengamati dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Terbukti pada 14 Agustus 2020, pemerintah merubah lagi aturan tersebut melalui PMK No. 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019. Perubahan terus menerus merupakan upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, meningkatkan produksi pelaku usaha, dan meningkatkan peredaran usaha wajib pajak.
Kucuran insentif pajak yang terus berlanjut diharapkan dapat menarik investor dan menjaga keseimbangan perekonomian negara. Brodzka dalam jurnal Tax Incentives in Emerging Economies mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang dapat menarik investor dan memperkuat pertumbuhan ekonomi adalah insentif pajak.
Insentif pajak tidak hanya dilaksanakan oleh Indonesia, beberapa negara melakukan penyesuaian sistem pajak untuk menekan dampak pandemi. Beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea, Vietnam, dan India menerapkan kebijakan perpajakan selama Covid-19.
Insentif Pajak sepanjang Pandemi
Terdapat lima insentif pajak dalam PMK No. 86/PMK.03/2020, yaitu PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), PPh Final UMKM DTP, pembebasan PPh Final Pasal 22 Impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan PPN sebagai PKP berisiko rendah bagi wajib pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar restitusi paling banyak Rp5 miliar.
Kemudian perubahan dalam PMK No. 110/PMK.03/2020, yaitu PPh Final DTP pada sektor padat karya tertentu, PPh Final Jasa Konstruksi DTP dalam Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI). PMK ini berlaku sejak diundangkan sampai dengan masa pajak Desember 2020.
Fasilitas pajak lainnya, yaitu pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50%. Insentif pajak ini sampai dengan Desember 2020 sejak masa pajak pemberitahuan disampaikan atau masa pajak Juli 2020 wajib pajak yang telah melakukan pemberitahuan. Dalam PMK No. 9/PMK.03/2021 mengatur tentang perpanjangan insentif yang telah ditetapkan dalam PMK No. 110/PMK.03/2020 sampai dengan 30 Juni 2021.
Cara di atas menunjukkan bahwa pemerintah tetap konsisten memberikan fasilitas pajak pada sektor-sektor yang berdampak pada masyarakat luas. Dengan harapan dampak perekonomian selama pandemi berkurang. Masyarakat juga dapat mempertahankan usahanya dan dapat ikut serta memutar roda perekonomian.
Dampak Insentif Pajak
Pengaruh stimulus fiskal mampu menjaga kestabilan penerimaan pajak. Meskipun terkontraksi, penerimaan pajak dari bulan ke bulan menunjukkan peningkatan. Data realisasi penerimaan pajak dapat dilihat dari laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita Kementerian Keuangan tahun 2020.
Terlihat bahwa pada awal-awal aturan ini diterapkan, yaitu Mei 2020, penerimaan pajak mengalami perlambatan karena kegiatan sosial dibatasi dan pemanfaatan fasilitas insentif perpajakan. Realisasi penerimaan pajak bulan ini sebesar 35,54% dari target.
Sebulan kemudian, pengaruh stimulus fiskal masih dirasakan. Semua jenis pajak mengalami kontraksi pada semester satu. Namun, pelonggaran PSBB menunjukkan adanya perbaikan penerimaan. Realisasi pajak bulan Juni sebesar 44,35%.
Perlu diingat bahwa fasilitas perpajakan merupakan bagian dari skema PEN. Meskipun ini menjadi salah satu faktor yang menekan angka penerimaan perpajakan, tetapi realisasi penerimaan Juli 2020 menunjukkan peningkatan menjadi 50,21%. Lalu bulan Agustus 2020 realisasi penerimaan sebesar 56,47%. Tidak dapat dipungkiri bahwa Covid-19 membuat transaksi perdagangan internasional dan perekonomian Indonesia semakin lambat.
Pada September 2021, realisasi penerimaan pajak menunjukkan tren positif, yaitu sebesar 62,61%. Walaupun penerimaan menjadi lambat, tetapi insentif pajak mampu menjaga daya beli masyarakat dan produktivitas usaha. Pada triwulan empat 2020, capaian penerimaan pajak mengalami peningkatan menjadi 68,98%. Diikuti peningkatan pada bulan-bulan berikutnya, yaitu November sebesar 77,19%. Kemudian penerimaan pajak hingga 31 Desember 2020 sebesar 89,25% dari target.
Realisasi penerimaan pajak memang tidak 100%. Namun, tren positif jelas terlihat dari awal aturan ini diterapkan. Hal itu menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih terkondisikan meski lambat dan produktivitas usaha masih berjalan meski tidak maksimal.
Di tengah kondisi ketidakpastian dan kejadian-kejadian luar biasa yang mengguncang masyarakat global, kajian terkait perpanjangan atau penetapan kebijakan fiskal harus dilakukan secara terus menerus agar tidak menguntungkan salah satu pihak. Semangat bangkit dan kuat di tengah pandemi terlihat dari sikap pemerintah yang hati-hati dalam memperbaiki setiap kebijakan yang dikeluarkan. Dan sikap masyarakat yang selalu bekerja sama untuk menyukseskan setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tanpa adanya kerja sama kedua belah pihak, tren positif penerimaan pajak tidak akan tercapai.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
*) Artikel di atas ditulis untuk dan telah terbit Februari 2021 di pajak.go.id.
Komentar
Posting Komentar