Dermoid Jalan Menuju Langit
Sore
itu, hujan lebat mengguyur desaku. Angin kencang mengayunkan ranting-ranting
pepohonan yang mengelilingi rumah. Sesekali kilatan petir menyapa bak kembang
api tahun baru. Ku sibakkan gorden ruang tamu untuk mengintip pertunjukkan alam
yang sedikit membuat jantung berdebar. “Ah, sepertinya menyeruput segelas teh
panas dan duduk di teras akan terasa lebih tenang” pikirku sambil berjalan
menuju dapur dan mewujudkan fantasiku. Saat menuju teras, aku melihat almari
berisi album foto. Segelas teh panas yang aromanya menggoda dan asapnya merayu
untuk dihirup aku letakkan di meja. Aku mengambil satu album foto dan kemudian
aku bawa ke teras bersama segelas teh panas yang terus merengek untuk disruput
di suasana yang syahdu ini.
Halaman
per halaman aku buka, owh iya ini aku, Teya. Gadis kecil yang selalu senyum
lepas, membuat orang-orang sekitarnya terhipnotis dan merasa bahagia. “Kini,
gadis kecil itu sudah berusia 30 tahun yang bekerja sebagai Aparatur Sipil
Negara (ASN)” iya itu aku. Sambil senyum-senyum teringat tengilnya masa laluku.
“Aku yang dari dalam kandungan ibuku sampai lulus SMA tidak pernah meninggalkan
kota Sleman, kota ternyaman di dunia, ternyata sekarang dituntut untuk
pindah-pindah kota demi tanggung jawab kepada negara” sambil menarik nafas
panjang dan tertawa geli, sesekali menyeruput teh dan masih ditemani rintik
hujan serta angin yang menari ringan. Sampai pada satu foto yang membuatku
tiba-tiba terdiam. Ini foto tiga tahun lalu, fotoku di salah satu rumah sakit di
Yogyakarta. Beberapa bulan setelah aku berangkat ke tanah suci.
Waktu
itu, aku punya mimpi untuk ke Mekah. Sebulan lagi keinginan itu terwujud. Hanya
tinggal satu hal yang belum dipersiapkan, yaitu periksa ke dokter untuk meminta
obat penahan haid. Aku pun bersiap menuju Pontianak mendatangi salah satu
dokter kandungan. Maklum, saat itu wilayah tugas di Singkawang dan keinginanku
periksa dengan dokter kandungan di Ibu Kota Provinsi.
Menggunakan
taksi, aku susuri jalanan Singkawang-Pontianak dengan waktu tempuh sekitar tiga
jam. Rasa bahagia ini sangat terasa, sudah tidak sabar melihat Ka’bah.
Sesampainya di Pontianak, aku melakukan pendaftaran dan mengantri untuk
dipanggil. Karena selama ini aku baik-baik saja, jadi aku tidak curiga dengan
kesehatanku.
“Atas nama Teya, silahkan masuk ke ruang dr.
Nana!” perawat itu memanggilku sambil berdiri agar semua orang yang menunggu
mendengarnya.
Suasana
klinik yang kecil itu membuatku bermimpi karena melihat banyak pasangan
menunggu kelahiran putra-putrinya. Aku pun dalam hati berharap agar aku bisa
merasakan hal yang sama. Menikah, hamil, disayang suami, dan juga anak-anak.
Lamunanku tiba-tiba kabur ketika mendengar panggilan perawat. Aku pun menuju
ruangan dokter dengan penuh rasa optimis.
“Permisi dok, boleh…” sambil mengetuk pintu
dan sedikit membungkukkan badan, menarik ujung bibir dan sedikit menganggukkan
wajah.
Belum
sampai selesai kalimatku, tetiba dokter dengan wajah berseri dan senyum manis
langsung mempersilahkan. Aku pun menjelaskan maksud kedatanganku kepada dr.
Nana. Kemudian aku dipersilahkan untuk berbaring dan diperiksa dengan USG
(Ultrasonography) sebelum dikasih obat. Dengan hati berdebar dan rasa bahagia,
aku pun nurut perintah dokter. Sampai tiba-tiba dokter bilang:
“Mbak, ini kok ada hitam-hitamnya
ya? Mungkin peralatan saya yang kurang tepat Mbak, karena ini peralatan USG
baru, jadi masih uji coba. Mbak rumahnya Jogja kan? Besok setelah pulang dari
umroh periksa di Jogja saja ya Mbak, semoga memang alat saya yang rusak.”
Dokter menjelaskan sambil memperlihatkan hasil USG dan menjelaskan dengan pena
agar lebih jelas.
Tiba-tiba
wajahku bengong. Seolah tidak percaya dengan dugaan dokter. Aku mencoba
bersikap biasa saja dan mengucapkan terima kasih atas obat penahan haid yang
diberikan. Lemas, bingung. Semua kejadian ini aku simpan dalam hati. Tetap
meyakinkan diri sendiri bahwa aku baik-baik saja.
Sebulan
kemudian.
Senang
rasanya salah satu impian telah terkabul. Suasana rumah pun bahagia menyambut
kedatanganku dari tanah suci. Waktu itu ibuku baru saja sembuh dari sakit.
Karena jatuh terpeleset, tangan ibuku sempat diperban dan digendong untuk
pemulihan tulang yang retak. Kondisi bapak selepas opname juga semakin membaik. Bapak opname karena jatuh terpeleset yang mengakibatkan tulang
belakangnya keseleo. Bapak ibuku sumringah melihatku telah kembali dari tanah
suci dengan selamat. Adikku pun menyambut dengan bahagia. Selain bahagia
menyambutku, dia juga bahagia karena tengah mempersiapkan pernikahannya. Iya,
dia akan menikah mendahuluiku. Aku pun tidak mempermasalahkan hal tersebut,
karena jodoh sudah ada yang mengatur. Aku tinggal menjalaninya saja.
Karena
masih ada sisa cuti, aku teringat pesan dr. Nana. Kemudian aku bertanya sama
Mbak Hani kakak pertamaku tentang dokter kandungan yang bagus di Jogja. Sebelum
aku bertanya, aku sudah menjelaskan duduk perkaranya.
“Mbak, dokter kandungan yang bagus siapa ya?”
pesan singkat melalui Whatsapp ini terkirim setelah aku pencet symbol panah
diujung kanan.
Ting
ting!!! “ah langsung dibalas” sambil meraih handphone yang baru saja aku
letakkan di meja.
“Ayo
ke dr. Ita aja, dia bagus kok, putrinya dr. Mamat, dia praktik nanti malam.
Datang ke rumahku ya, nanti aku anter, deket kok dari rumahku.” balasan chat
yang singkat dan solutif dari Mbakku.
Malam
itu begitu dingin. Selepas maghrib, aku menuju rumah Mbak Hani dan tidak lupa
pamitan sama orang tua.
“Pak, aku ke rumah Mbak Hani ya, ada perlu”
sambil cium tangan untuk pamitan.
“Ya, hati-hati, pulangnya jangan kemalaman,
jalanan sepi” balasnya sambil duduk dan mendengarkan pangkur jenggleng. Iya,
Bapak dan Ibu suka sekali menikmati acara TVRI Jogja “Pangkur Jenggleng”.
Talkshow komedi yang dikemas dengan bahasa Jawa, lucu dan menarik. Sering
membuat kami tertawa lepas melepas penat setelah seharian bekerja.
Suasana
sepi seperti yang Bapak bilang. Bintang pun terlihat jelas karena tidak ada
awan di langit. Apalagi aku melewati deretan persawahan. Tenang sekali suasana
malam itu, namun hatiku bergemuruh. Lantunan dzikir dan pikiran positif aku
sematkan dalam otakku. Sampai akhirnya aku pun sudah berada di ruang dokter.
“Jadi saya jelaskan ya hasil USG-nya. Ini ada
hitam-hitam di sekitar perut, tepatnya belum tau dimana, tapi dugaan saya ini
ada tumor. Saya sarankan ke Rumah Sakit Pendidikan ya, nanti bertemu dr.
Bagong. Dia dokter spesialis penyakit dalam.” penjelasan dr. Ita dengan nada
yang tegas dan lugas.
Aku
dan Mbak Hani saling pandang hampir tidak percaya. Mbak Hani mencoba
menenangkan dan menguatkanku.
“Kita coba periksa besok ya, semoga apa yang
disampaikan tidak benar.” sambil membelai kepalaku dan menggandengku menuju
parkiran.
Aku
sudah tidak sanggup berkata dan hanya menganggukkan kepala.
“Mbak, aku langsung pulang ya?” pintaku kayak
orang kelaparan.
“Yakin kamu? Gapapa?” nada khawatir disertai dengan
tatapan mata ragu.
“Iya, gapapa. Kita rahasiakan dulu ya dari
bapak ibu, nunggu suasana kondusif.” Dengan nada mantab dan meyakinkan.
Kami
pun sepakat untuk merahasiakan ini sampai acara pernikahan adikku selesai dan
Bapak Ibu sudah benar-benar sehat. Sambil menunggu hari pernikahan adikku, aku
pun melakukan pemeriksaan ke RS Pendidikan sesuai rekomendasi dr. Ita. Sampai
rumah sakit dan bertemu dr. Bagong, aku disuruh langsung ke radiologi dan
melakukan pemeriksaan. Setelah hasilnya keluar, aku bawa ke dr. Bagong untuk
dibaca. Dokter Bagong terlihat bingung dengan hasilnya, karena aku tidak puasa
lebih dulu sebelum pemeriksaan, hasilnya pun samar. Kemudian perutku diperiksa,
tentu didampingi perawat perempuan.
“Ga ada benjolan kok di perut, hmmmm apa ya?
Kok aneh?” raut wajah dr. Bagong terlihat berkerut karena bingung dengan
hasilnya.
“Iya dok, saya juga lihat perut saya rata dan
tidak ada yang berbeda” dengan hati yang sedikit lega.
“Coba Mbak ke dokter spesialis kandungan aja,
dikonsultasikan” coba Mbak ke dokter spesialis kandungan ya. Kerutan di dahi
dr. Bagong jelas terpampang nyata.
Karena
merasa dilempar-lempar, aku lelah dan malas untuk periksa. Aku anggap semua
sudah selesai dan baik-baik saja. Aktivitasku pun normal, tidak ada yang terganggu.
Setelah cutiku habis, aku kembali ke tanah Borneo, tugas negara.
Alam
bawah sadarku berkata lain, kalimat para dokter itu masih terngiang di
kepalaku. Stres memicu adanya perubahan tubuhku. Berat badanku mulai berkurang
karena stres dan aku menjaga makananku dengan memperbanyak buah dan sayur. Aku
merasa ada yang aneh dengan perutku. Ada benjolan yang selalu mengganjal jika
stres melanda dan menyapa. Aku bingung. Menangis adalah jalan ninjaku waktu
itu. Mencoba berpikir logis dan berpikir positif bukan hal yang mudah saat kita
didera masalah. Berbagai pikiran berlebihan muncul di benakku.
“Ada
apa dengan ku?” batinku.
Aku
mencoba browsing dokter terbaik di
Singkawang. Karena sedang bertugas di Kota Amoy ini, aku tidak bisa leluasa
untuk bolak balik Jogja demi melakukan pemeriksaan. Dokter senior Singkawang di
salah satu rumah sakit swasta pun menjadi tujuan ku. Tepat. Dokternya pandai
secara pengetahuan dan secara sosial. Informasi yang disampaikan membuatku
tenang. Kemudian aku diarahkan untuk periksa ke dokter radiologi, tapi harus
puasa terlebih dahulu agar hasilnya maksimal. Dengan badan sehat dan wajah
sumringah, aku langkahkan kaki menuju dokter radiologi tersebut. Setelah
hasilnya keluar, aku dijelaskan semua terkait hasil pemeriksaan terhadap tubuhku.
Dokter menyuruhku untuk konsultasi ke dokter kandungan.
Lagi-lagi,
ada aliran kepanikan dalam tubuh ini, namun aku harus tenang dan logis. Meski
air mata ini tak henti-hentinya keluar. Aku browsing
untuk mencari dokter kandungan terbaik di Kota Amoy. Aku baca
komentar-komentarnya, aku ingin dokter yang bisa berkomunikasi dengan baik.
Bukan dokter yang suka men-judge.
Dan, aku menemukan dr. Lina, cerdas dan bersahaja. Dokter menjelaskan jenis
penyakitku dengan logis.
“Mbak, ini kemungkinan tumor dermoid” katanya
dengan tenang.
“Tumor apa itu dok?” rasanya lemas sekali
tubuh ini dan bingung harus bagaimana tapi tetap bertanya.
Dr.
Lina menjelaskan dengan ilmunya “Kista dermoid adalah tumor jinak berisi
jaringan kulit, gigi, dan rambut. Kista bisa terbentuk di bagian tubuh
mana pun, tetapi lebih sering di area wajah. Kista dermoid terbentuk akibat
kelainan perkembangan janin. Oleh karena itu, kista dermoid sering kali dapat
langsung terlihat ketika bayi dilahirkan. Selain terbentuk di kulit, kista juga
dapat terbentuk di dalam tubuh, seperti rahim dan tulang belakang. Kista yang
terbentuk di dalam tubuh sering tidak disadari oleh penderitanya hingga kista
menimbulkan gangguan dan gejala pada usia dewasa¹.”
Dokter menjelaskan dengan penuh kesabaran sambil menunjukkan letak
tumorku melalui hasil USG radiologi. Dia pun menyebutkan posisinya di ovarium
kanan dan ukurannya sekitar 9x6 cm. Aku disarankan untuk segera operasi.
AKU BINGUNG
Jujur,
kegalauan melanda. Di kos seorang diri. Kemudian, aku teringat, dulu pernah
dengar kalau Al Qur’an itu obat. Aku bukan orang yang religius, tapi aku
percaya Tuhan itu ada dan selalu ada. Aku ambil Al Qur’an, kemudian aku baca
sambil terisak. Aku percaya, aku akan menemukan obat didalamnya. Semenjak saat
itu Al Qur’an menjadi kawanku. Mungkin ini tidak logis, tapi aku yakin Tuhan
akan menolong ku melalui wahyu-Nya.
Aku
ambil handphone lalu aku hubungi Mbak
Hani dan menceritakan semuanya. Beberapa hari kemudian Mbak Hani memberitahu
kalau ada pengobatan alternatif di Klaten. Aku pun memutuskan pulang dan
mengambil jatah cuti. Di Klaten aku dipijat dan diberi obat yang harus ku minum
setiap hari. Aku harus mengabiskan obat 23 kapsul per hari selama satu bulan,
kemudian diperiksa lagi.
Dua
bulan aku menjalani hari-hariku bersama kapsul dan tidak ada perubahan berarti.
Ku hentikan pengobatan alternatif tersebut. Aku mencoba kembali ke dokter, kali
ini aku menemui dokter spesialis di Jogja dan dia dosen salah satu Universitas
ternama. Sama. Sarannya aku disuruh operasi. Siapa yang tidak sedih, umurku
sudah kepala tiga, belum menikah, belum memiliki keturunan, dan harus merelakan
satu ovarium yang ada dalam tubuh ini.
Aku
pun memberanikan diri bercerita ke orang tuaku setelah acara hajatan selesai
dan kondisi kesehatan orang tuaku sudah membaik. Orang tuaku pun kaget dan
merasa bersalah karena tidak memperhatikan kesehatanku saat masih di dalam
kandungan. Tapi, inilah takdir dan jalan hidup yang harus kami terima.
Mengeluh, sedih, dan meratapi nasib bukanlah solusi. Kami berunding untuk hal
yang terbaik. Aku memutuskan untuk operasi, segala sesuatu terkait asuransi
kesehatan aku pindahkan ke Jogja. Aku datangi salah satu rumah sakit negeri di
kota gudeg dan bertemu dengan dr. Asem. Sambil iseng, aku tanya ke dokternya:
Aku
masih dengan rasa penasaranku “Bisa sembuh ga sih Dok tanpa operasi?”
dr. Asem menjawab dengan sedikit
menurunkan suaranya seolah ini di luar SOP dia yang bertugas di rumah sakit
pemerintah “Bisa, tapi Mbak harus bayar obatnya, ga masuk ke asuransi
kesehatan”.
Aku
merasa ada angin surga, berarti aku tidak perlu kehilangan ovariumku. Aku bisa
sembuh. Waktu itu, aku diantar Ibu ke rumah sakit dan kami bahagia mendengar
kabar itu. Aku pun mengikuti sarannya untuk meminum pil yang dikasih dokter
Asem. Pil harus diminum setiap hari dan setiap sebulan sekali harus kontrol ke
klinik miliknya, tidak boleh ke rumah sakit tersebut. Artinya sebulan sekali
aku harus balik ke Jogja untuk periksa. Baiklah. Aku akan menjalani kalau itu
memang jalan ikhtiarku untuk kesembuhan.
Aku
merasa aneh. Banyak hal-hal tidak logis yang dilontarkan dokter itu. Namun, aku
akan mencoba selama satu bulan menghabiskan pil itu. Sebulan kemudian aku
kembali ke Kota Pendidikan. Kota dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Dr. Asem
bilang kalau tumorku mengecil menjadi 3x4 cm. Dan aku dikasih obat lagi, sampai
tumor ini nanti akan hilang.
Sampai
di kota Amoy, aku merasa ini tidak logis. Tidak ada perubahan yang aku rasakan.
Perutku pun terkadang masih membesar seperti ada benjolan di dalamnya. Aku
konsultasi dengan dr. Lina di Singkawang. Aku tunjukkan obat dari dr. Asem.
Disitu aku dikasih tau kalau obat ini tidak memberi dampak sama sekali. Dr.
Lina juga menjelaskan kalau ada dokter yang tulus mengobati dan ada yang ingin
memperkaya dirinya. Aku pun di USG lagi dan ukuran tumor semakin membesar dari
pemeriksaan awal.
Aku
kembali ke Jogja. Aku berusaha menenangkan diri dengan memperbanyak ibadah.
Temanku menawarkan konsultasi ke psikolog. Depresi melandaku. Aku menjadi
terlalu overthingking. Aku ceritakan
semuanya ke psikolog itu. Tiga jam kami saling bercerita. Waktu itu, di akhir
perbincangan kami, dia menyuruhku untuk memilih satu dari tiga pilihan:
“Mbak, kalau kamu disuruh milih, kamu pilih
mana? (1) Kamu sakit ikhlas langsung masuk surga. (2) Kamu sakit, operasi,
sembuh, menikah, punya anak. (3) Kamu sakit, operasi, tidak punya anak, kamu
bisa menikah dengan duda yang memiliki anak.” dengan nada penuh ketegasan
psikolog itu menyuruhku untuk memilih.
“Saya pilih nomer satu” Suaraku pun tak kalah
tegas, seolah kebawa suasana balkon kala itu.
“Kenapa?” lanjutnya.
“Karena langsung masuk surga” jawabku singkat
dengan menatap wajahnya
“Nah, itu kamu tau jawabannya, kenapa masih
bingung? apapun keputusanmu, semua itu jalan mengantarkan ke kematian” dengan
nada lebih lembut.
Tiba-tiba
lamunanku tentang masa lalu buyar, kilat disertai petir menggelegar. Seolah
mereka ingin membawaku kembali ke masa kini. Tubuhku terkaget, mataku
terbelalak, mulutku spontan mengucap “Astaghfirullah”. Aku tutup album foto itu,
aku sruput kembali teh yang sudah mulai dingin. Tak terasa, udara di luar
begitu dingin sampai bulu kudukku berdiri. Hujan pun tak kunjung reda. Aku
masih ingin menikmati suasana sore itu di teras depan rumahku. Sambil pikiran
ini berusaha mengambil hikmah dari kepingan-kepingan takdir yang telah
membersamaiku selama ini.
Sambil menatap tetesan air hujan yang mengalir melalui daun-daun di depan rumahku, aku berpikir bahwa mengembalikan pikiran menjadi logis dan hati tetap tenang merupakan sebuah tantangan tersendiri dalam menghadapi takdirku kala itu. Waktu itu, aku pun memantabkan diri untuk melakukan operasi. Aku memilih rumah sakit dan dokter yang memiliki review baik. Saat itu, keputusanku adalah dari diriku, bukan dipengaruhi oleh keluarga maupun orang lain. Ketenangan merasuki jiwaku. Operasi berjalan dengan lancar. Pemulihan juga cepat. Kantor memberiku cuti sakit selama lebih dari dua minggu. Sejak saat itu aku tau bahwa Al Qur’an memang obat. Allah mengobati jiwaku terlebih dahulu sebelum mengobati ragaku. Dan, aku semakin paham bahwa everything belongs to Allah SWT. Kita ini dititipi tidak hanya harta, namun juga rangka, organ tubuh, dan sebagainya. Ini semua adalah titipan. Hal yang harus ku lakukan adalah terima saja dulu, Allah yang akan memberi jalan.
¹Catatan kaki: https://www.alodokter.com/kista-dermoid
Komentar
Posting Komentar